KURESENSI MEDIA - Dalam beberapa dekade terakhir, masyarakat mulai memperhatikan pendidikan anak dengan sangat baik. Setiap orang tua – apapun pekerjaannya, menyekolahkan anaknya di jenjang sekolah formal minimal hingga memperoleh gelar sarjana.
Apalagi permasalahan mahalnya biaya pendidikan sudah tidak perlu
ditakutkan, karena berbagai beasiswa telah hadir untuk membantu mereka yang
merasa kesulitan dalam menyediakan biaya pendidikan.
Berdasarkan data statistik perguruan tinggi yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) bahwa angka partisipasi kasar nasional meningkat dari tahun ke tahun.
Angka partisipasi kasar nasional ini menunjukkan perbandingan jumlah mahasiswa entry level dengan jumlah penduduk usia 19-23 tahun. Angka partisipasi kasar nasional pada tahun 2016 sejumlah 31,61% dan di tahun 2020 sejumlah 36,16%.
Semakin meningkatnya angka partisipasi kasar nasional menandakan bahwa kesadaran berpendidikan (ikut serta dalam jenjang sekolah formal) yang semakin tinggi di kalangan keluarga Indonesia.
Diploma Disease
Kepedulian masyarakat untuk membentuk anak-anak yang berpendidikan sangat disayangkan dengan tujuan terspesialisasi. Pendidikan yang saat ini hadir, terutama pada tingkat perguruan tinggi berfokus untuk menciptakan para pekerja yang handal.
Para pekerja yang siap melakukan satu pekerjaan tertentu. Hal ini
terlihat dari berbagai jurusan yang tersedia di perguruan tinggi hanya fokus
mempelajari satu bidang tertentu.
Baca juga: Menjawab Quarter Life Crisis
Pemikiran umum yang terbentuk atas fenomena tersebut adalah pendidikan bertujuan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik. Manusia (para pemuda) dipersiapkan hanya untuk memenuhi kebutuhan kepegawaian di berbagai sektor kehidupan melalui spesialisasi pendidikan yang diambil.
Pemikiran ini muncul atas adanya sekularisasi pendidikan yang memisahkan antara agama dan sains. Sehingga orientasi kemasyarakatan lebih diutamakan dengan menciptakan sosok pekerja-pekerja berpendidikan yang mudah diatur.
Namun, Wan Mohd dalam buku Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas menjelaskan fenomena ini dapat berimbas pada munculnya diploma disease.
Patologi psiko-sosial yang disebut sebagai diploma disease tersebut merupakan bentuk usaha untuk meraih gelar dengan tujuan nilai-nilai sosial-ekonomi. Masyarakat sudah tidak lagi fokus pada kepentingan pendidikan itu sendiri.
Hal ini menyebabkan pendidikan menjadi hambar dan kaku. Imbasnya pelajar dan mahasiswa hanya sekadar mengejar angka di atas kertas tanpa menganggap penting nilai-nilai spiritual dan intelektual yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan.
Pengangguran Terdidik
Fenomena spesialisasi pendidikan pada mulanya dianggap baik karena mempersiapkan pemuda hasil bonus demografi untuk dapat bekerja secara maksimal.
Tetapi, fakta menunjukkan bahwa pengangguran terdidik tetap tinggi karena
ketersediaan lapangan pekerjaan tidak berimbang dengan jumlah lulusan
berpendidikan terspesialisasi.
Meski beberapa tahun ke belakang angka pengangguran terdidik semakin menurun, tetapi tingkat penurunannya tidak signifikan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 lalu menunjukkan bahwa terdapat sejumlah 9,77 juta angka pengangguran terbuka. Dengan rincian pengangguran terdidik, 13,55 persen lulusan SMK, 9,86 lulusan SMA, 8,08 persen lulusan diploma, dan 7,35 persen lulusan universitas.
Data ini menunjukkan spesialisasi pendidikan yang direncanakan bahkan tidak memenuhi tujuan dalam ranah nilai-nilai sosial-ekonomi. Pengangguran yang ada justru menjadi ancaman masalah sosial lain bisa timbul karena masyarakat tidak memegang prinsip-prinsip spiritual dan intelektual yang kuat.
Memurnikan Tujuan Pendidikan
Masalah tersebut berkenaan dengan sistem yang berlaku dalam dunia pendidikan. Pelajar secara umum tidak perlu terikat dan bergantung pada sistem pendidikan yang menjadi sebab munculnya diploma disease.
Perlu disadari
bahwa tujuan pendidikan mensyaratkan seseorang dapat berpikir dengan lebih
optimal sehingga dapat menjadi individu yang lebih baik. Individu yang baik
akan dapat menghadapi apapun masalah yang berada di depannya dengan cara yang
baik.
Secara kaidah ajaran Islam, tujuan pendidikan yang lebih besar adalah untuk mencapai keridhoan Allah SWT. Tujuan tersebut sangat kental berlandaskan nilai-nilai aqidah spiritual.
Peningkatan nilai spiritual di kalangan pemuda perlu diimbangi dengan peningkatan kecerdasan perilaku dan intelektual sehingga mampu mencapai derajat insan kamil (manusia yang sempurna).
Pelajar harus juga mencari pengalaman-pengalaman untuk mengasah tiga kecerdasan (intelektual, spiritual, perilaku) selagi masih menempuh jenjang pendidikan formal.
Pengalaman berorganisasi, membangun jejaring, berdiskusi, ikut serta lomba, dan sebagainya dapat menjadi landasan yang memperkuat tiga kecerdasan itu.
Namun, perlu disadari juga bahwa manusia yang baik akan terus belajar hingga berpisah dengan dunia. Artinya, kunci utama dalam menghadapi dunia yang terus berubah adalah tidak berhenti belajar dan berusaha mencapai ridho Allah SWT. Wallahu’alam bishshawab.[s]