Showing posts with label Artikel. Show all posts
Showing posts with label Artikel. Show all posts

26 November 2021

Pengaruh Ketidakpatuhan Masyarakat Terhadap Penyebaran Covid-19

 


(Artikel oleh Lutfan Khanif/ Mahasiswa KKN RDR Angkatan 77 UIN Walisongo)


Covid-19 merupakan jenis virus yang dapat melemahkan imun tubuh. Virus ini baru ditemukan pada tahun 2019 dan mengakibatkan pandemi berkepanjangan di seluruh dunia (WHO, 2020). Dilansir dari World Health Organization (WHO) pada  25 November 2021 secara global tercatat lebih dari 259 juta kasus yang terkonfirmasi positif dan 5,17 juta kasus di antaranya dinyatakan meninggal. Indonesia juga menjadi salah satu negara yang tidak luput dari serangan penyakit ini. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia (RI) pada waktu yang sama tercatat lebih dari 4 juta kasus dengan lebih dari 144 ribu orang yang meninggal.


Banyak cara yang sudah dilakukan sebagai upaya melawan pandemi. Penanganan dan pencegahan sudah dilakukan secara global, nasional, dan wilayah. Beberapa cara penanganan Covid-19 yang sudah dilakukan seperti tracking atau penelusuran kontak fisik orang yang terjangkit, menggunakan tes Rapid, edukasi kepada masyarakat, dan lain-lain. Sedangkan pencegahan yang sudah digaungkan sebagai perlawanan terhadap pandemi di antaranya memakai masker, mencuci tangan menggunakan sabun atau handsanitizer, mengurangi mobilitas kegiatan, menghindari kerumunan, dan lain-lain.


Sejatinya strategi penanganan dan pencegahan yang dilakukan di atas dapat menekan laju percepatan penyebaran Covid-19 seperti yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menetapkan peraturan sementara seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dengan berbagai level yang menyesuaikan jumlah kasus positif di suatu daerah tertentu. Upaya preventif yang diterapkan oleh pemerintah dapat menekan penyebaran Covid-19 di Indonesia, sebagai buktinya setelah diberlakukannya PSBB dan PPKM sedikit banyak menurunkan kasus positif Covid 19 ini.


Baca juga: Ikut Andil Memutus Penyebaran Covid-19, Mahasiswa KKN UIN Walisongo Bagikan Masker Gratis


Pentingnya Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat sangatlah penting dalam menyukseskan perlawanan terhadap pandemi Covid-19. Implementasi protokol kesehatan dan peraturan-peraturan yang tercantum dalam PPKM merupakan suatu bentuk keharusan agar PPKM dapat berjalan dengan baik.


Pada prakteknya banyak ditemukan masyarakat yang acuh bahkan dengan terang-terangan membantah peraturan yang ada. Seiring berjalannya waktu, pelonggaran pembatasan sosial mulai dijalankan namun sebagian masyarakat ditemukan tidak menerapkan atau  mematuhi protokol kesehatan secara baik dan benar baik saat bepergian, misalnya ke tempat umum atau keluar dari rumah dan bertemu orang dimana bisa menimbulkan keresahan bagi masyarakat  sekitar yang sudah taat protokol kesehatan..


Ketidakpatuhan masyarakat semakin hari semakin meningkat. Adapun bentuk pelanggaran yang paling sering didapati adalah tidak memakai masker saat keluar rumah dan membuat kerumunan ditempat keramaian. Hal-hal tersebut terjadi karena persepsi masyarakat yang menganggap remeh pengetahuan terhadap Covid-19 dan yang paling sering dibuat sabagai alasan perlawanan adalah ekonomi.


Pengaruh dari ketidakpatuhan ini tentunya kegagalan dalam melawan pandemi itu sendiri. Akibatnya pemerintah harus mengeluarkan peraturan yang lebih tegas terhadap masyarakat yang didapati melanggar. Ketidakpatuhan masyarakat juga berpengaruh kepada mereka sendiri, keluarga, dan setiap orang terdekat karena dengan ketidakpatuhan itu maka pandemi bisa jadi semakin bertambah lama. Semakin lama pandemi berlangsung, maka keadaan ekonomi dan kehidupan masyarakat tidak akan pulih atau menemukan kesejahteraan sebagaimana mestinya.


Perlu adanya gencaran edukasi tentang pencegahan Covid 19 sambil menekan percepatan vaksinasi kepada seluruh masyarakat. Edukasi dapat dilakukan dengan menggandeng pihak-pihak yang dapat mempengaruhi banyak orang seperti public figure. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara memantau protokol kesehatan kepada masyarakat melalui lingkup dari yang terkecil seperti RT, RW, dusun, desa, dan seterusnya. Kebijakan juga harus ditekankan, konsisten dan tegas agar kepercayaan masyarakat dapat muncul dan terbentuk juga kepatuhan. 


(Lutfan Khanif/ Mahasiswa KKN RDR Angkatan 77 UIN Walisongo)*


23 November 2021

Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Pandemi Covid-19


(Artikel oleh Muhammad IkhtiyarMahasiswa KKN RDR UIN Walisongo Semarang Kelompok 61) 


Pandemi Covid-19 sudah merubah tatanan hidup di seluruh dunia, banyak dampak negatif yang bermunculan dalam segi kesehatan, ekonomi, Pendidikan dan kehidupan sosial khususnya pada masyarakat Indonesia. Peran pemerintah dalam penanganannya sudah sangat baik walaupun di samping itu masih ada juga yang tidak bisa diterima.


Melalui kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengakibatkan tidak sedikit perkantoran dan sektor lainnya memberlakukan Work From Home (WFH) untuk mengurangi resiko penularan Covid-19. Salah satu upaya agar tidak merasa bosan dan stress dalam menghadapi kebijakan tersebut adalah dengan cara menjaga kesehatan mental.


Kesehatan mental menjadi trending kekhawaratiran pada bidang kesehatan. Ketidakpastian akan berakhirnya masa pandemi, social distancing, isolasi, stigma dan diskriminasi terhadap penderita menjadi suatu penyebab baru munculnya stress. Berdasarkan data yang diperoleh dari https://rsgm.maranatha.edu Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Indonesia (PDSKJI) mencatat dari 4010 hasil swaperiksa masalah psikolog yang telah berjalan selama 5 bulan di Indonesia, 64,8% di antaranya mengalami masalah psikologis.


Memang berat untuk menerima kenyataan akibat dari pandemi ini, dimana kita harus kehilangan orang yang kita sayangi baik itu keluarga, teman, atau hanya orang yang kita kenal dari jauh. Untuk menjaga kesehatan mental diri sendiri, kita dapat melakukan beberapa cara sederhana, seperti menyediakan jurnal untuk mencurahkan pikiran dan perasaan atau dengan belajar dan melakukan meditasi.


Stress menjadi poin terbesar dalam permasalahan yang sering menyerang psikis kita, sangat banyak faktor penyebab. Perubahan situasi dan kondisi membuat individu harus dapat berpikir dan bertindak cepat dalam  merespon  segala  sesuatu  yang  terjadi. Hal ini penting, terutama dalam situasi pandemi saat ini. Individu yang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan akan dapat menjalai kesehariannya dengan tenang, sebaliknya individu  yang tidak mampu beradaptasi terhadap segala perubahan, bukan tidak mungkin mengalami kondisi stress.


Stress  adalah  respon  tubuh  yang  sifatnya  non  spesifik  terhadap  setiap  tuntutan  beban  atasnya.  Misalnya  bagaimana  respon  tubuh  seseorang  manakala  yang  bersangkutan  mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. Bila individu sanggup mengatasinya artinya tidak ada  gangguan  pada  fungsi  organ  tubuh,  maka  dikatakan  yang  bersangkutan  tidak  mengalami  stress (Hawari, 2011).


Baca juga: Penerapan Protokol Kesehatan Dalam Kehidupan Sehari-Hari, Studi Kasus Masyarakat Tanjungsari Ngaliyan


Indikas Stres

Menurut David dan Nelson (dalam Muhayaroh, 2020) indikasi stres dapat dikelompokkan menjadi empat aspek. Aspek Feeling (perasaan);  Individu yang mengalami stres akan merasa gelisah dan sering ketakutan, cemas  berlebih, mudah marah, murung, khawatir, dan selalu merasa tidak mampu. Aspek Kognitif (pikiran); Individu yang sedang mengalami stres, akan memiliki penghargaan yang rendah pada diri sendiri, memiliki emosi yang tidak stabil, bahkan tidak mampu berkonsentrasi dengan baik ataupun mudah melamun secara berlebihan. Aspek behavior (perilaku); Individu yang memiliki gejala stres akan mudah menangis tanpa alasan yang jelas, mudah terkejut, kaget atau panik, kesulitan berbicara, dan tidak mampu rileks. Selain itu individu cenderung mudah tersinggung, sedih dan juga depresi. Aspek fisiologi (tubuh); Individu yang mengalami stress akan memiliki permasalahan dengan keadaan tubuh yang cenderung mudah letih, gemetar, memiliki permasalahan dengan tidur, sakit kepala ataupun memiliki masalah dengan ritme jantung.


Cemas, takut dan bimbang merupakan suatu responisasi yang wajar terhadap peristiwa ketidakpastian. Namun, bukan berarti pengendalian diri tidak bisa terpakai. Cara ampuh dalam menghadapi kasus ini yaitu dengan memenejemen stress tersebut.


Manajemen stress adalah kemampuan penggunaan sumber daya (manusia) secara efektif untuk mengatasi gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang muncul karena tanggapan (respon). Tujuan dari manajemen stres itu sendiri adalah untuk memperbaiki kualitas hidup individu itu agar menjadi lebih baik (https://id.wikipedia.org, 2021). Secara umum, dapat dikatakan bahwa manajemen stres berkaitan erat dengan upaya menjaga kesehatan mental individu. Dalam masa pandemi saat ini, individu dituntut untuk dapat mengendalikan, mengontrol dan mengelola stress yang dialami untuk dapat menyesuaikan diri dengan keadaan supaya dapat tetap menjalani hidup dengan lebih baik, tentram, dan tenang.


Baca juga: Shaman King; Pertarungan Para Shaman Memperebutkan Gelar Raja


Kesehatan mental yang baik adalah kondisi ketika batin kita berada dalam keadaan tentram dan tenang, sehingga memungkinkan kita untuk menikmati kehidupan sehari-hari dan menghargai orang lain di sekitar. Seseorang yang dikatakan bermental sehat dapat menggunakan kemampuan atau potensi dirinya secara maksimal dalam menghadapi tantangan hidup, serta menjalin hubungan positif dengan orang lain. Sebaliknya, orang yang Kesehatan mentalnya  terganggu akan mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, serta kendali emosi  yang pada akhirnya bisa mengarah pada perilaku buruk (https://promkes.kemkes.go.id, 2018). Hal-hal yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan mental selama pandemi adalah menjaga komunikasi dengan keluarga dan orang-orang terdekat, bijak dalam menerima informasi Covid-19, hidup sehat, menghindari penggunaan rokok/alkohol/obat-obatan pereda emosi, melakukan aktivitas yang disenangi, dan tidak takut meminta pertolongan ketika stress.


Tidak cukup hanya menjaga kesehatan mental sendiri, tetapi juga harus menjaga kesehatan mental orang-orang di sekitar  Selama pandemi, kita perlu membangun empati dan kepedulian terhadap orang lain. Ketakutan dan kecemasan adalah hal yang wajar, tetapi pastikan ketakutan tidak menyebabkan masalah kesehatan mental orang lain. Berhenti menstigmatisasi pasien, penyintas, dan tenaga kesehatan yang menangani Covid-19, karena setiap orang harus berpartisipasi untuk saling menjaga kesehatan fisik dan mental agar pandemi Covid-19 ini dapat berlalu.


 (Muhammad IkhtiyarMahasiswa KKN RDR UIN Walisongo Semarang Kelompok 61)*


18 November 2021

Penerapan Protokol Kesehatan Dalam Kehidupan Sehari-Hari, Studi Kasus Masyarakat Tanjungsari Ngaliyan

 



(Artikel oleh Harinah Nadia Berliana/ Anggota KKN RDR UIN Walisongo Angkatan 77 Kelompok 53)


Sudah hampir dua tahun Pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Namun masih banyak masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan. Dilansir dari http://databoks.katadata.co.id Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat masih ada jutaan penduduk Indonesia yang belum mematuhi protokol kesehatan 3M. Sebanyak 3,9 juta orang di sekitar pasar ditegur karena tidak menerapkan protokol tersebut pada 9-16 Mei 2021. Sebanyak 1,1 juta orang ditegur karena tak menerapkan protokol kesehatan 3M di jalan umum. Kemudian, ada 785,8 ribu orang yang ditgegur karena tak patuh menjalankan protokol kesehatan 3M di kantor. Ada 383,8 ribu orang yang ditegur karena tak menerapkan protokol kesehatan 3M di tempat ibadah. Sementara 259,4 ribu orang ditegur karena tak menerapkan protokol kesehatan 3M di tempat wisata.


Dilansir dari http://nasional.compas.com hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan sejumlah alasan mengapa masyarakat tidak mematuhi protokol kesehatan. Survei digelar secara daring oleh BPS terhadap 90.967 responden di seluruh Indonesia pada 7-14 September 2020. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan bahwa 55 persen responden tidak patuh karena tidak ada sanksi jika tidak menerapkan protokol kesehatan. Selanjutnya 39 persen responden tidak patuh karena merasa tidak ada kejadian Covid-19 di lingkungan sekitar.


Selain itu, ada 23 persen responden yang mengungkapkan harga masker, faceshield dan APD lain yang cenderung mahal menjadi penyebab keengganan menerapkan protokol kesehatan. Suhariyanto juga mengemukakan bahwa 21 persen dari total responden mengaku tidak patuh protokol kesehatan karena ikut-ikutan. Selanjutnya 19 persen yang lainnya tidak patuh karena contoh aparat atau pimpinan.


Berdasarkan sumber-sumber di atas, berkaitan erat dengan kurang taatnya masyarakat di Tanjungsari Utara IV, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang untuk mematuhi protokol kesehatan. Masih banyak masyarakat yang datang ke tempat umum seperti tempat ibadah, pasar, dan warung makan tanpa menjaga jarak, dan memakai masker.


Banyak orang yang sudah berusia di atas 40 tahun menganggap memakai masker membuat nafas mereka sesak. Sedangkan kalangan yang merumur 18-25 tahun mengabaikan protokol kesehatan dikarenakan ikut-ikutan dan dengan dalih rasa sungkan ketika yang lain tidak memakai masker tetapi dia memakai masker sendiri. Kurangnya edukasi terkait pentingnya protokol kesehatan di masa pandemi sekarang ini membuat banyaknya masyarakat mengabaikan prokes.


Baca juga: Interpretasi Stephen Hawking Tentang Teori Terpadu


Lalu mengapa kita harus mematuhi protokol kesehatan?

Fajarin, Kepala Kementerian Agama Kabupaten Brebes saat menerima kunjungan Kepala Badan Kesbangpol, Muhamad Sodiq dan tim pada Jumat (21/05) mengatakan bahwa wabah Covid-19 adalah suatu ujian kesabaran dan komitmen ketaqwaan kepada sang Pencipta. Karena tidak ada satu musibahpun tanpa seizin Allah SWT. Fajarin juga menjelaskan bahwa kewajiban untuk ikhtiar tetap ada. Ikhtiar yang dilakukan dengan mencegah terjadinya penularan Covid-19.


Menjaga protokol kesehatan penting untuk menekan laju penularan virus corona.  Masyarakat diimbau untuk patuh untuk memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan air mengalir. Selain itu, masyarakat diharapkan untuk menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas. Selain protokol kesehatan, vaksinasi penting untuk mengurangi risiko dari Covid-19. Hal ini penting karena berdasarkan data dari https://databoks.katadata.co.id risiko kematian akibat corona turun hingga 37% bagi mereka yang telah mendapatkan satu dosis vaksin. Sedangkan, risiko kematian turun hingga 73% bagi orang yang telah mendapatkan dua dosis vaksin.


Protokol kesehatan yang wajib ditaati masyarakat menurut kompas.com, pertama yang paling penting adalah menjaga kebersihan tangan, tangan adalah media penyebaran virus paling utama, bersihkan tangan dengan menggunakan cairan pencuci tangan atau hand sanitizer meskipun tangan tidak terlihat kotor, jika tangan kotor bersihkan dengan menggunakan sabun. Biasakan mencuci tangan setelah dari lingkungan luar atau memegang sesuatu. Cara mencuci tangan harus mengikuti aturan standar yang sudah ada, yaitu mencuci tangan bagian dalam, punggung, sela-sela dan ujung-ujung jari. Kemudian yang kedua jangan menyentuh wajah, dengan adanya pandemi covid-19 tangan menjadi media paling mudah terkena virus, usahakan tidak menyentuh wajah, menggaruk-garuk wajah khususnya mata, hidung dan mulut. Tangan kita bisa saja terdapat virus yang diperoleh dari aktifitas yang kita lakukan di luar rumah. Jika tangan tidak bersih dan kemudian menyentuh wajah maka virus dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh.


Terapkan etika batuk dan bersin, etika saat batuk yaitu menutup mulut dan hidung dengan menggunakan lengan atas bagian dalam pada saat batuk atau bersin. Meskipun tidak ada virus di tubuh kita etika batuk dan bersin harus tetap diterapkan. Selanjutnya menggunakan masker, gunakan masker saat anda keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain. Bagi anda yang tidak memiliki gejala bisa menggunakan masker non medis, namun bagi anda yang memiliki gejala gunakanlah masker medis yang dapat digunakan 1 kali, dan setelah digunakan harus dibuang ke tempat sampah yang tertutup kemudian cuci tangan setelah memegang masker tersebut. Protokol kesehatan selanjutnya yaitu menjaga Jarak, untuk menghindari terjadinya paparan virus dari orang ke orang lain, kita harus senantiasa menjaga jarak dengan orang lain minimal 1 meter. Kita dilarang untuk berkumpul dan berkerumunan untuk meminimalisir kontak fisik dengan orang lain. Isolasi mandiri, bagi anda yang kurang sehat sebaiknya secara sukarela bersedia berdiam di rumah. Tidak mendatangi tempat kerja, sekolah atau tempat umum lainnya karena mungkin saja memiliki resiko infeksi covid-19 dan dapat menularkan ke orang lain. Kemudian yang terakhir menjaga kesehatan, istirahat yang cukup perlu diterapkan dalam upaya menjaga kesehatan selama pandemi covid-19 ini.


(Harinah Nadia Berliana/ Anggota KKN RDR UIN Walisongo Angkatan 77 Kelompok 53)*

24 August 2021

Membumikan Kembali Dakwah Walisongo

Ilustrasi. Membumikan Kembali Dakwah Walisongo

Dakwah merupakan suatu penyampaian ajaran agama, lebih khusus dalam agama Islam. Bagi umat Islam, dakwah adalah suatu kewajiban yang diemban oleh tiap-tiap pemeluknya. Hal ini berlaku baik bagi lelaki maupun wanita, baik golongan tua ataupun muda. Jika dilihat dalam kaidah hadist, sampaikan walau satu ayat, memberikan gambaran yang jelas bahwa dakwah merupakan suatu yang sangat dianjurkan. Bahkan ketika seorang manusia hanya mengetahui satu hal, maka hal itu patut disampaikan kepada orang lain untuk menjadi pengetahuan bersama.

Dakwah menjadi tongkat penopang agama. Karena dengan berdakwahlah, agama Islam terus ada dan berkembang hingga sampai hari ini. Pengertian ini pun perlu dimiliki oleh setiap pemeluk agama Islam agar nasihat tauhid tetap tersampaikan ke seluruh penjuru dunia. Masih banyak kaum yang belum mendapat nasihat tauhid yang perlu diberikan pengetahuan agama melalui dakwah. Lebih lanjut, di dalam agama Islam sendiri masih  banyak kaum awam yang hanya memeluk agama tanpa menyadari aspek-aspek kewajiban dan larangan yang perlu diketahui harus diberikan pengertian melalui jalan dakwah.

Dakwah Walisongo di Tanah Jawa
Di Indonesia, khususnya Pulau Jawa dikenal tokoh pendakwah sebagai pembawa Islam pertama ke tanah Jawa yaitu Walisongo. Melalui nasihat taqwa Walisongo, Islam disebarkan dengan damai dan mudah diterima oleh masyarakat lokal. Dibalik hal tersebut tentu ada hal yang patut dipelajari oleh umat Islam agar kewajiban dakwah dapat dijalani dengan baik.

Walisongo mennyebarkan Islam dengan metode akulturasi. Akulturasi (KBBI) adalah percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Ketika menyampaikan dakwahnya, walisongo tidak menghilangkan budaya lokal yang telah berkembang jauh sebelum Islam datang. Justru dengan adanya dakwah Islam, walisongo berdakwah dengan cara merevitalisasi lokal wisdom dengan penguatan nilai-nilai Islam. Tentulah hal ini menjadi kekuatan dasar dakwah walisongo sehingga masyarakat mampu memahami dan menerima nilai-nilai Islam secara jelas.

Dakwah Ala Walisongo di Era Teknologi
Di era ini, masyarakat kembali membangun kebudayaan baru dengan berbagai kemudahan teknologi. Budaya berteknologi yang mulai berkembang di masyarakat juga dapat dikuatkan dengan nilai-nilai Islam jika pendakwah mampu kreatif melihat jalan dakwah yang ada. Dalam kaidah ATM (amati, tiru, dan modifikasi), pendakwah dapat mengamati dan meniru teknik berdakwah ala walisongo dengan menyelipkan nilai Islam pada budaya lokal yang tentunya sesuai dengan kaidah ajaran Islam. Hal ini dimodifikasi dengan kondisi masa kini dengan budaya baru yang berkembang di masyarakat. 

Tentu budaya berteknologi melahirkan kaum yang memiliki literasi teknologi atau tingkat baca via internet yang lebih tinggi daripada buku. Pendakwah dapat memanfaatkan internet dalam berdakwah. Masyarakat pun dapat memiliki daya tarik terhadap dakwah teknologi jika pendakwah mampu mengemas dengan elegan.

Meski demikian, sebagai seorang pendakwah harus mampu menetapkan batasan-batasan yang tak boleh dilanggar oleh dirinya dalam menyampaikan nasihat taqwa tersebut. Jangan sampai dakwah disampaikan dengan menyelipkan nilai-nilai di luar Islam. Begitu juga dalam hal akulturasi, jangan menimbulkan kesalahpahaman masyarakat karena nilai Islam justru hanyut di dalam budaya. Para pendakwah perlu memiliki keteguhan iman agar selalu mengutamakan nilai-nilai Islam. Wallahu’alam Bi Shawwab.

19 May 2021

Santri Sebagai Penjaga Intelektual Generasi Muda

 

(Artikel oleh Sofia Najmah/ Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Iqbal)

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa seorang yang mempelajari ilmu agama (terutama melalui lembaga Pondok Pesantren) dijuluki dengan kata santri. Namun secara umum, khalayak seringkali memandang santri sebagai sosok yang identik dengan istilah kuno, kolot dan selalu mengurusi urusan agama saja.


Dalam urusan pekerjaan, seseorang dengan ijazah pesantren kebanyakan tidak diterima dalam seleksi pendaftaran kerja karena dianggap tidak memiliki kompetensi yang mumpuni. Hal ini semakin menambah buruk pandangan masyarakat terkait dunia pesantren yang dianggap tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Apalagi zaman terus berkembang memasuki era globalisasi, modernisasi dan westernisasi yang menyebabkan manusia tak jarang beranggapan bahwa kehidupan materialis dan hedonis adalah tujuan hidup, sedangkan pendidikan sekuler (ilmu umum tanpa mengenal ilmu agama) menjadi prioritas. Pendidikan keagamaan dengan sendirinya menjadi terpojokkan oleh laju produktivitas.


Beberapa tenaga kerja tidak menerima karakteristik seorang santri, dan menolak ijazah-ijazah yang berlatar belakang santri pondok pesantren. Sehingga masyarakat menganggap dunia pesantren tidak sesuai dengan kehidupan zaman sekarang.


Dengan pandangan itu, beberapa pondok pesantren mulai beradaptasi dengan pendidikan formal dan melibatkan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Dengan begitu harapannya, pondok pesantren kembali harum dengan seimbangnya ilmu dan akhlak di masa globalisasi ini. Peran santri dari masa dulu, sampai masa mendatang sebagai mitra pemerintah menjadi kebutuhan untuk memupuk generasi negeri unggul dalam bidang pendidikan dan karakter. Padahal santri termasuk bagian dari faktor utama pendidikan Islam yang mewarnai perjalanan Indonesia dalam meningkatkan nilai-nilai keagamaan.


Jika dilihat pada masa sebelum kemerdekaan, santri punya kontribusi melepaskan Indonesia dari penjajah. Pesantren menjadi tempat utama untuk menyusun strategi sampai penyerangan. Bahkan menjadi tempat balai pengobatan bagi orang-orang yang terluka. Hingga keberadaannya menggerakkan orang tua untuk menitipkan anaknya di pesantren. Hasil dari pendidikan yang khas diperoleh dari pesantren adalah nilai strategis yang seringkali diwujudkan dalam program pemerintahan.


Seperti halnya media sosial digemparkan seorang santri bernama Malik Khidir. Mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Gajah Mada itu berhasil meraih juara pertama kejuaraan robotik di Amerika Serikat. Disusul santri dari Pondok Pesantren Blitar dan Mojokerto yang berhasil memenangkan kontes robotik di Jepang. Dengan capaian itu, apakah masih beranggapan santri gagap teknologi?


Keberhasilan mereka layak untuk menjadi pelecut sekaligus semangat bagi para santri nusantara saat ini. Tetap pantang menyerah dalam menuntut ilmu. Ilmu apapun itu harus dikaitkan dengan ridho Allah dan tetap optimis menjawab tantangan zaman yang semakin global. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Mencari ilmu wajib hukumnya bagi orang muslim laki-laki maupun perempuan.” Berdasarkan itu, kini saatnya para santri bangkit. Menjadi agen perubahan, tidak hanya belajar ilmu agama. Tetapi juga ilmu umum. Karena kata ilmu tidak diperinci. Bisa saja ilmu agama atau umum. Karena ilmu agama dan umum sama-sama dating dari Allah SWT.


Nama santri harus selalu melekat seumur hidup bagi penyandangnya. Indonesia sangat membutuhkan peran santri. Dalam sejarah negeri ini, santri memiliki andil yang amat besar. Menjadi pahlawan yang gigih memerangi para penjajah untuk merebut tanah air Indonesia. Wallahu’alam bishawab.


(Sofia Najmah/ Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Iqbal)*


baca juga :

Zaman Zulkarnaen dan Penulisnya Yang Misterius

Bisakah Manusia Menjelajah Alam Semesta

Rajin Pangkal Pandai, Baca Pangkal Karya

29 April 2021

Menangkal Reduksi Moral Era Globalisasi

 

ilustrasi by quipper.com

Globalisasi merupakan proses menyatunya dunia sebagai akibat dari pesatnya perkembangan teknologi. Semenjak teknologi gencar dikembangkan, proses globalisasi semakin menguat di tengah kehidupan masyarakat. Adanya globalisasi membuat hubungan manusia saling terbuka dan bergantung satu sama lain tanpa terikat dengan jarak dan waktu. Di Indonesia, menilik hasil Wearesosial Hootsuite pengguna media sosial mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi pada Januari 2019. Dari data tersebut menjadi dasar bahwa kehidupan manusia akan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi di era globalisasi saat ini.


Keterbukaan dan ketergantungan yang sekaligus terfasilitasi oleh teknologi menyebabkan jarak seakan tidak jauh karena manusia dapat berkomunikasi dengan siapa pun di dunia melalui gawai. Manusia seakan dipermudah dalam hubungan jarak jauh dengan fasilitas teknologi yang membuatnya mampu berinteraksi dengan orang lain tanpa harus bertatap muka secara langsung. Artinya adanya teknologi dapat meningkatkan mobilitas komunikasi tanpa memandang jarak dan waktu, serta tanpa harus bertemu secara langsung jika jarak tempuh belum memungkinkan untuk dijangkau.


Namun, di sisi lain kecanggihan teknologi membuat dunia maya seakan-akan menjadi tak terkendalikan, sehingga membuat dunia nyata seakan tergeser fungsinya sebagai tempat sosialisasi masyarakat. Pada kondisi ini, budaya baru yang bersifat individualis meningkat dalam realitas karena segalanya telah dipindahtugaskan melalui dunia maya. Bahkan perkembangan teknologi menyebabkan dunia mengalami disrupsi besar serta membuat shock berbagai pihak konvensional. Salah satu contohnya yaitu ranah perdagangan yang kian hari mulai ikut tergeser posisinya dari pasar konvensional menjadi online shop, hal ini tentu berimplikasi pada perekonomian dunia. Imbasnya – dunia di berbagai belahan, ketika memasuki abad 20 mengalami krisis moneter.


Degradasi Moral

Beberapa tahun berlalu, manusia mulai bisa kembali menyesuaikan diri dengan adanya globalisasi dan teknologi. Namun, dengan adanya perkembangan teknologi dan globalisasi, beberapa kebudayaan mulai baur dan keramahan khas (khususnya di Indonesia) kian tergerus. Dalam hal sikap, individualism terus meningkat karena setiap orang tidak perlu banyak bersosial melalui cara konvensional dengan adanya kemudahan-kemudahan yang tersedia.


baca juga : Sekolah Alam Berbasis Kelas


Salah satu permasalahan umum yang telah menjadi rahasia publik adalah hilangnya unggah-ungguh penghormatan dari anak muda ke orang yang lebih tua. Dalam tutur bahasa, chatting (WA, IG, Facebook, dll) tidak dapat diidentifikasi berdasarkan nada suara dan mimik muka sehingga hal ini lambat laun menghilangkan budaya penghormatan ditinjau secara verbal. Di sisi lain, budaya malu pun lambat laun mulai terkikis, hal ini terlihat dari budaya tik-tok yang kian marak seakan-akan tidak adanya rasa malu jika hal itu terlihat orang masyarakat umum.


Adat ketimuran dengan ciri khas masyarakatnya yang agamis dan santun mulai terdegradasi oleh budaya liberal. Dalam hal ini, masyarakat lokal justru malu berkecimpung dengan budayanya sendiri karena anggapan kuno mulai muncul dalam pikiran. Adapun budaya liberal yang mengedepankan materialistik dan azas kesenangan terus berkembang secara otomatis. Tentunya jika tidak dibendung maka akan berakibat pada kebudayaan lokal yang kehilangan jati dirinya.


Filltering Perlu Ditingkatkan

Masuknya kebudayaan asing sebagai pereduksi moral melalui jalan globalisasi dan teknologi sebetulnya bukanlah masalah serius yang sulit dipecahkan. Pada intinya hal yang patut ditanamkan pada masyarakat adalah filtering budaya inputan dari asing. Hakikatnya, hadirnya globalisasi merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan atau bahkan menutup diri, justru hal itu membuat kita akan semakin kudet atau tertinggal dengan perkembangan zaman. Namun, yang diperlukan manusia adalah melakukan filterisasi terhadap budaya yang masuk.


baca juga : Senjakala Budaya dan Branding Nilai Kebudayaan


Sejatinya budaya asing (khususnya budaya yang buruk) tidak akan menjangkiti negeri jika masyarakat memilah mana yang tidak perlu dipraktikkan di masyarakat sendiri. Sebagaimana, dalam kaidah Al-Muhafadzah bil aqdamil shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara tradisi atau budaya nasional yang baik, serta mengadopsi budaya baru yang tidak bertentangan dengan identitas nasional). Dari dasar tersebut, sekiranya terdapat budaya asing yang bertolak belakang dengan identitas nasional, maka hal itu perlu ditinggalkan seperti halnya budaya seks bebas, pacaran, minuman keras, dan individual. Tentu mindset awal yang perlu dibangun adalah bahwa budaya lokal bukan budaya kuno. Budaya lokal merupakan warisan luhur bangsa yang harus ditunjung tinggi sebagai identitas masyarakat. Keunikan budaya di Indonesia menjadi suatu hal yang tidak ditemui di berbagai Negara lainnya.


Jika masyarakat menerapkan prinsip tersebut dalam kehidupan, khususnya di era globalisasi saat ini identitas bangsa Indonesia akan terus terjaga. Globalisasi bukan menjadi hal yang menakutkan, namun bagaimana masyarakat bisa mengaktualisasikannya dengan tetap menjaga warisan budaya nasional seperti gotong royong, budaya malu, rukun, dan ramah tetap terjaga. Serta melakukan adopsi budaya luar yang sekiranya dapat memabngun bangsa Indonesia lebih baik, seperti kerja keras, disiplin dan kerja cerdas. Wallahu A’lamu Bi Al-Shawab.


(Diterbitkan di Kolom Opini Harian duta Masyarakat 17 Maret 2020)

27 April 2021

Sekolah Alam Berbasis Kelas Sebagai Solusi Menurunkan Stress Akademik

 

Ilustrasi by google.com

Masyarakat secara meluas telah menyadari bahwa pendidikan menjadi aspek penting yang perlu diperoleh oleh anak sebagai bagian dari proses membentuknya menjadi sosok manusia sempurna. Parameter manusia sempurna (istilah dalam Islam : insan kamil) dalam pandangan Islam merujuk pada sosok Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW memiliki karakter sebagai insan kamil dengan diliputi kecerdasan yang terbungkus dalam akhlakul karimah. 


Namun dalam menempuh pendidikan sebagai usaha mencapai karakter insan kamil tersebut, anak dihadapkan pada berbagai proses pendidikan yang dapat membawanya mengalami stres akademik. Stres akademik diartikan sebagai sebuah tekanan akibat persepsi subjektif terhadap suatu kondisi akademik. Beberapa faktor yang dapat menciptakan situasi stres akademik di antaranya faktor internal (pola pikir, kepribadian, dan keyakinan) serta faktor eksternal (pelajaran padat, tekanan prestasi, dorongan status sosial, dll).


baca juga : Senjakala Budaya dan Branding Nilai Kebudayaan


Jika melihat beberapa faktor penyebab stres akademik, tentu dapat diketahui bahwa hal itu sangat berkaitan dengan perbedaan individual pada diri anak. Maknanya dalam suatu kelas, potensi anak dalam menerima stres akademik akan beragam tergantung pada situasi dan kondisi yang dialami anak tersebut. Dalam hal ini, kemampuan guru dalam mengakomodasi perbedaan individual dan model pendidikan yang dilaksanakan menjadi faktor yang dapat menurunkan tingkat stres akademik anak.


Sekolah alam

Kemampuan guru dalam mengakomodasi perbedaan individual tentu dapat memiliki kekurangan apabila anak tidak antusias dalam pembelajaran. Maka cara yang efektif adalah memadukan kemampuan guru dalam mengakomodasi perbedaan individual dengan menggunakan model pendidikan menyenangkan berbasis sekolah alam. Dalam model sekolah alam, penekanan pendidikan terletak pada tingkah laku dan proses pembelajaran. Guru tidak fokus menekankan pada aspek nilai, namun murid tetap dinilai oleh guru melalui proses interaksi setiap hari.


Dilansir dari tirto.id (2019) Emma Harwood, guru sekolah dasar yang berpengalaman mengatakan bahwa pembelajaran yang dilakukan di luar ruangan mampu memberikan dampak positif bagi peserta didik. Tentu hal ini berkaitan dengan pengalaman yang secara langsung diperoleh peserta didik membuatnya lebih bijak dalam menilai resiko dan mengambil keputusan. 


baca juga : Sihirku adalah Tidak Pernah Menyerah


Pada pembelajaran yang dilakukan di sekolah alam, peserta didik belajar di ruang alam sehingga menurunkan efek jenuh dalam proses pendidikan. Peserta didik akan dibawa pada suasana rilex sehingga lebih siap dan efektif dalam menerima materi pembelajaran. Meski begitu, suasana kelas juga tetap diperlukan apabila pembelajaran berkaitan dengan pengenalan ICT  (Information Communication Technology). 


Maka, kombinasi sekolah alam berbasis kelas bisa menjadi solusi maksimal dalam mengurangi stres akademik di era 4.0. Dalam hal ini peserta didik dapat belajar secara rilex dan juga tetap memperhatikan aspek pembelajaran berbasis teknologi sebagai bentuk mengikuti perkembangan zaman. Wallahu’alam bishawwab.

14 April 2021

Senjakala Budaya dan Branding Nilai Kebudayaan


Gemah ripah loh jinawi, demikianlah bunyi salah satu semboyan yang lekat pada Negara Indonesia sebagai suatu bangsa yang memiliki ribuan kekayaan dalam berbagai hal. Disadari atau tidak kekayaan Indonesia tidak akan bisa disamakan dengan negeri mana pun di jagad ini. Bahkan jika surga dilambangkan dengan kekayaan, maka Indonesia adalah satu-satunya negeri di dunia yang pantas disebut surga.


Ditinjau menurut kacamata keanekaragaman etnis, terdapat sekitar 250 etnis yang berbeda di Indonesia (Kemdikbud RI, 2016). Jumlah etnis tersebut, tentu melahirkan berbagai bentuk kebudayaan yang berbeda di setiap daerah. Kemudian kebudayaan yang berbeda itu pada hakikatnya menciptakan kearifan lokal yang berbeda pula sebagai suatu warisan luhur dari nenek moyang sejak dahulu kala. Kearifan lokal sendiri menjadi potensi pembentuk karakter sosial dan identitas dari suatu daerah yang tentu memiliki nilai-nilai kebaikan dan patut dilestarikan.


Kritis Budaya Lokal

Euforia terhadap era globalisasi cenderung menimbulkan efek yang mengkhawatirkan. Kemudahan akses informasi global membuat berbagai pihak sulit membendung impor budaya yang terjadi secara masif, terutama kepada generasi muda selaku pengguna terbanyak media informasi online. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018 ada 171,17 juta pengguna internet dan segmen usia 15-19 tahun memiliki angka penetrasi paling tinggi mencapai 91%.


Sementara itu, dilansir dari Republika.co.id pada tahun 2020 angka pengguna internet meningkat menjadi 175,5 juta pengguna dari total 268,58 juta penduduk Indonesia. Penggunaan internet ini memang memiliki sisi positif bagi penduduk seperti kemudahan mendapat informasi, kemudahan berkomunikasi dengan individu yang saling berjauhan, dan lain-lain. Namun, keberadaannya juga menimbulkan efek samping berupa perubahan karakter sosial masyarakat. Dewasa ini banyak dijumpai individu yang tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya karena terlalu asyik mengoperasikan gadget dan hidup dalam bayang-bayang dunia maya. Hal itu menimbulkan kurangnya sosialisasi antar elemen masyarakat dan menciptakan generasi apatis terhadap lingkungan.


Baca juga: Bisakah Manusia Menjelajah Alam Semesta


Kemudahan informasi tersebut pun menjadi sebab meningkatnya angka persebaran hoaks yang seringkali dapat menimbulkan konflik antar golongan tertentu. Pada tahun 2019 lalu, Kominfo temukan 3.801 hoaks yang tersebar di internet. Perilaku tidak peduli pada sekitar yang telah menjamur dapat memperparah kesalahan persepsi masyarakat karena cenderung kurang aktif untuk melakukan cross check informasi.


Kemudian jika meninjau budaya berbahasa, masyarakat cenderung meninggalkan penggunaan bahasa daerah sebagai bentuk kearifan lokal. Kurang lebih, Indonesia memiliki 741 bahasa dari Sabang sampai Merauke dengan prediksi 75% di antaranya akan mati karena ditinggalkan oleh para penuturnya. Bahasa daerah dianggap kuno dan terkesan ketinggalan zaman sehingga banyak orang tua yang lebih membiasakan anaknya untuk fasih berbahasa Indonesia ataupun bahasa asing. Lambat laun hal ini akan menimbulkan kematian bahasa daerah karena generasi berikutnya tidak akan mengenal bahasa daerahnya sendiri. Jika beberapa hal yang telah dikemukakan terjadi terus-menerus dengan tidak ada upaya penanggulangan yang efektif, maka tak dapat disangkal bahwa Indonesia akan kehilangan kekayaan budaya sebagai bentuk identitas diri bangsa.


Potensi Sosialisasi Budaya dengan Teknologi

Ada tantangan dan ancaman yang diberikan teknologi terhadap eksistensi budaya. Jika belajar dari proses seleksi alam, maka dapat dilihat bahwa setiap hal yang tidak bisa bersesuaian dengan perubahan zaman maka akan ditinggalkan atau mengalami kemusnahan dari kehidupan manusia, begitu pula eksistensi budaya. Artinya tidak dapat dipungkiri beberapa kebudayaan yang tidak bisa menyesuaikan perubahan zaman akan musnah diganti dengan kebudayaan baru. Namun, manusia sebagai subjek pengendali terutama manusia Indonesia perlu mengendalikan nilai-nilai yang berkembang agar tetap hidup dalam kehidupan bangsa Indonesia.


Meski perubahan teknologi menjadi ancaman bagi eksistensi budaya, tetap ada potensi teknologi sebagai pembangkit mekarnya budaya yang mencerminkan identitas bangsa Indonesia. Teknologi virtual seperti instagram, facebook, youtube, dan sebagainya memiliki potensi untuk menjadi alat sosialisasi yang paling mudah untuk mengenalkan kebudayaan. Potensi itu akan mampu dimanfaatkan dengan baik atau tidak bergantung pada seberapa masif sosialisasi budaya dilakukan. Pokok penting yang perlu disosialisasikan adalah nilai-nilai kebudayaan yang menjadi identitas dari bangsa Indonesia. Nilai-nilai kebudayaan itu akan menjadi tonggak pencipta budaya baru yang tentu akan selalu sesuai dengan identitas bangsa Indonesia.


Baca juga: Rajin Pangkal Pandai, Baca Pangkal Karya


Adapun pelestarian budaya yang masih ada, perlu kesadaran bersama dari pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia. Proses transfer budaya kepada generasi muda adalah satu-satunya cara yang dapat dilakukan agar budaya tersebut tidak hilang dari peradaban. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai pemangku dalam bidang budaya perlu memberikan stimulasi khusus terkait kebudayaan dan masyarakat perlu menyadari bahwa dalam kebudayaan terkandung segudang nilai kebaikan bagi peradaban.


(Artikel ini pernah dilombakan dalam Lomba Artikel November Saintek tahun 2020)


31 August 2020

Menjaga Jari di Era Media Sama Pentingnya dengan Menjaga Lisan

 

Illustrasi by glints.com

Era digitalisasi menjadi titik yang merubah banyak hal, termasuk cara masyarakat bersosialisasi. Sosialisasi secara daring sudah menjadi kebiasaan baru bagi khalayak, apalagi pasca mewabahnya Corona virus disease (Covid-19). Pada platform media sosial, jumlah penggunanya terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari We Are Social (2020) pengguna media sosial mencapai 160 Juta pengguna aktif, yang mana meningkat 10 Juta pengguna dibanding tahun sebelumnya.


Media sosial kini telah menggantikan komunikasi sosial pada umumnya. Kemudahan dan cepatnya penyebaran informasi membuat media sosial semakin ramai digandrungi masyarakat. Keberadaan media sosial itu telah membentuk pola interaksi yang tak terikat oleh ruang dan waktu. Pola interaksi tersebut sesuai dengan teori Anthony Giddens, bahwa adanya modernitas hubungan ruang dan waktu terputus yang kemudian ruang perlahan-lahan terpisah dari tempat. Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa media sosial menciptakan pola interaksi tanpa perlu bertemu langsung.


Baca juga : Menjadi Minoritas, Why Not?


Penggunaan media sosial bagai pedang bermata dua. Media sosial yang memberi kemudahan bagi akses informasi pun memiliki sejumlah sisi negatif yang patut dihindari para penggunanya. Tentu hal itu menjadi suatu self reminding bagi para pengguna agar tetap bijak dalam menggunakan media sosial.


Sebagai pengguna yang baik maka sudah sepatutnya selalu memikirkan akibat yang ditimbulkan dari menggunggah berbagai konten di media sosial. Jangan sampai hal yang diunggah menjadi sebab kerugian bagi orang lain. Tak hanya bagi orang lain, postingan sembarangan pun dapat merugikan penggunanya sendiri apabila orang lain mempermasalahkannya melalui tuduhan pelanggaran UU ITE yang berlaku.


Belajar dari nasihat mulutmu harimaumu, dalam hal kebijaksanaan penggunaan media sosial maka dapat sedikit diubah menjadi jari-jarimu harimaumu. Maknanya menjaga jari-jari dari mengunggah konten buruk pada era digitalisasi sama pentingnya dengan menjaga lisan dari perkataan yang sebaiknya tidak diucapkan. Jangan sampai apa yang diunggah mengakibatkan penyesalan atau kerugian di kemudian hari. Wallahu’alam.

23 April 2020

Membangun Citra Diri Melalui Media Online


Illustrasi by nusabali.com

Di era digital ini, semua hal dapat dijumpai lewat media online. Banyak perusahan yang mencari seorang pengisi posisi yang mereka butuhkan secara online.
Hal ini tentu membuat rekam jejak dan online visibility menjadi sesuatu yang teramat
penting.

Bagi saya, online visibility sangatlah penting dalam menentukan rekam jejak
online dalam perencaan saya mendatang. Hal ini dapat menjadikan produk online saya
akan lebih familiar untuk dikenal banyak orang. Konsep tersebut juga dapat
membangun personal branding dari tiap talenta dan keunikan yang saya miliki. Tentu,
membangun personal branding di media online akan membuat saya dan hasil produk
tarlihat lebih menonjol. Rekam jejak ini saya aplikasikan pada salah satu usaha
sekaligus keterampilan saya mengelola dalam bidang designe website dan blog.
Walaupun saya masih dalam taraf new player.

Bagi saya, membangun jejak karya melalui portofolio online merupakan suatu hal
penting. Saya menyadari bahwa jejak karya online secara langsung akan membangun
citra diri di era digital ini. Saya membangun rekam jejak online melalui blog pribadi,
website hingga social media. Tentu ada harapan agar mendapat beasiswa dalam
bidang design internasional sekaligus menjadi lahan promosi produk secara meluas.

Oleh: Firman Hardianto*
Author kuresensi.xyz dan penulis lepas