19 May 2021

Santri Sebagai Penjaga Intelektual Generasi Muda

 

(Artikel oleh Sofia Najmah/ Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Iqbal)

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa seorang yang mempelajari ilmu agama (terutama melalui lembaga Pondok Pesantren) dijuluki dengan kata santri. Namun secara umum, khalayak seringkali memandang santri sebagai sosok yang identik dengan istilah kuno, kolot dan selalu mengurusi urusan agama saja.


Dalam urusan pekerjaan, seseorang dengan ijazah pesantren kebanyakan tidak diterima dalam seleksi pendaftaran kerja karena dianggap tidak memiliki kompetensi yang mumpuni. Hal ini semakin menambah buruk pandangan masyarakat terkait dunia pesantren yang dianggap tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Apalagi zaman terus berkembang memasuki era globalisasi, modernisasi dan westernisasi yang menyebabkan manusia tak jarang beranggapan bahwa kehidupan materialis dan hedonis adalah tujuan hidup, sedangkan pendidikan sekuler (ilmu umum tanpa mengenal ilmu agama) menjadi prioritas. Pendidikan keagamaan dengan sendirinya menjadi terpojokkan oleh laju produktivitas.


Beberapa tenaga kerja tidak menerima karakteristik seorang santri, dan menolak ijazah-ijazah yang berlatar belakang santri pondok pesantren. Sehingga masyarakat menganggap dunia pesantren tidak sesuai dengan kehidupan zaman sekarang.


Dengan pandangan itu, beberapa pondok pesantren mulai beradaptasi dengan pendidikan formal dan melibatkan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi. Dengan begitu harapannya, pondok pesantren kembali harum dengan seimbangnya ilmu dan akhlak di masa globalisasi ini. Peran santri dari masa dulu, sampai masa mendatang sebagai mitra pemerintah menjadi kebutuhan untuk memupuk generasi negeri unggul dalam bidang pendidikan dan karakter. Padahal santri termasuk bagian dari faktor utama pendidikan Islam yang mewarnai perjalanan Indonesia dalam meningkatkan nilai-nilai keagamaan.


Jika dilihat pada masa sebelum kemerdekaan, santri punya kontribusi melepaskan Indonesia dari penjajah. Pesantren menjadi tempat utama untuk menyusun strategi sampai penyerangan. Bahkan menjadi tempat balai pengobatan bagi orang-orang yang terluka. Hingga keberadaannya menggerakkan orang tua untuk menitipkan anaknya di pesantren. Hasil dari pendidikan yang khas diperoleh dari pesantren adalah nilai strategis yang seringkali diwujudkan dalam program pemerintahan.


Seperti halnya media sosial digemparkan seorang santri bernama Malik Khidir. Mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Gajah Mada itu berhasil meraih juara pertama kejuaraan robotik di Amerika Serikat. Disusul santri dari Pondok Pesantren Blitar dan Mojokerto yang berhasil memenangkan kontes robotik di Jepang. Dengan capaian itu, apakah masih beranggapan santri gagap teknologi?


Keberhasilan mereka layak untuk menjadi pelecut sekaligus semangat bagi para santri nusantara saat ini. Tetap pantang menyerah dalam menuntut ilmu. Ilmu apapun itu harus dikaitkan dengan ridho Allah dan tetap optimis menjawab tantangan zaman yang semakin global. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Mencari ilmu wajib hukumnya bagi orang muslim laki-laki maupun perempuan.” Berdasarkan itu, kini saatnya para santri bangkit. Menjadi agen perubahan, tidak hanya belajar ilmu agama. Tetapi juga ilmu umum. Karena kata ilmu tidak diperinci. Bisa saja ilmu agama atau umum. Karena ilmu agama dan umum sama-sama dating dari Allah SWT.


Nama santri harus selalu melekat seumur hidup bagi penyandangnya. Indonesia sangat membutuhkan peran santri. Dalam sejarah negeri ini, santri memiliki andil yang amat besar. Menjadi pahlawan yang gigih memerangi para penjajah untuk merebut tanah air Indonesia. Wallahu’alam bishawab.


(Sofia Najmah/ Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Iqbal)*


baca juga :

Zaman Zulkarnaen dan Penulisnya Yang Misterius

Bisakah Manusia Menjelajah Alam Semesta

Rajin Pangkal Pandai, Baca Pangkal Karya