Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa seorang yang
mempelajari ilmu agama (terutama melalui lembaga Pondok Pesantren) dijuluki
dengan kata santri. Namun secara umum,
khalayak seringkali memandang santri sebagai sosok yang identik dengan istilah kuno, kolot dan selalu mengurusi urusan
agama saja.
Dalam urusan pekerjaan, seseorang dengan ijazah
pesantren kebanyakan tidak diterima dalam seleksi pendaftaran kerja karena
dianggap tidak memiliki kompetensi yang mumpuni. Hal ini semakin menambah buruk
pandangan masyarakat terkait dunia pesantren yang dianggap tidak dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Apalagi zaman terus berkembang memasuki
era globalisasi, modernisasi dan westernisasi yang menyebabkan manusia tak
jarang beranggapan bahwa kehidupan materialis dan hedonis adalah tujuan hidup,
sedangkan pendidikan sekuler (ilmu umum tanpa mengenal ilmu agama) menjadi
prioritas. Pendidikan keagamaan dengan sendirinya menjadi terpojokkan oleh laju
produktivitas.
Beberapa tenaga kerja tidak menerima karakteristik
seorang santri, dan menolak ijazah-ijazah yang berlatar belakang santri pondok
pesantren. Sehingga masyarakat menganggap dunia pesantren tidak sesuai dengan
kehidupan zaman sekarang.
Dengan pandangan itu, beberapa pondok pesantren
mulai beradaptasi dengan pendidikan formal dan melibatkan ilmu pengetahuan,
sains dan teknologi. Dengan begitu harapannya, pondok pesantren kembali harum
dengan seimbangnya ilmu dan akhlak di masa globalisasi ini. Peran santri dari
masa dulu, sampai masa mendatang sebagai mitra pemerintah menjadi kebutuhan
untuk memupuk generasi negeri unggul dalam bidang pendidikan dan karakter.
Padahal santri termasuk bagian dari faktor utama pendidikan Islam yang mewarnai
perjalanan Indonesia dalam meningkatkan nilai-nilai keagamaan.
Jika dilihat pada masa sebelum kemerdekaan, santri
punya kontribusi melepaskan Indonesia dari penjajah. Pesantren menjadi tempat
utama untuk menyusun strategi sampai penyerangan. Bahkan menjadi tempat balai
pengobatan bagi orang-orang yang terluka. Hingga keberadaannya menggerakkan
orang tua untuk menitipkan anaknya di pesantren. Hasil dari pendidikan yang
khas diperoleh dari pesantren adalah nilai strategis yang seringkali diwujudkan
dalam program pemerintahan.
Seperti halnya media sosial digemparkan seorang
santri bernama Malik Khidir. Mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Gajah Mada itu
berhasil meraih juara pertama kejuaraan robotik di Amerika Serikat. Disusul
santri dari Pondok Pesantren Blitar dan Mojokerto yang berhasil memenangkan
kontes robotik di Jepang. Dengan capaian itu, apakah masih beranggapan santri
gagap teknologi?
Keberhasilan mereka layak untuk menjadi pelecut
sekaligus semangat bagi para santri nusantara saat ini. Tetap pantang menyerah
dalam menuntut ilmu. Ilmu apapun itu harus dikaitkan dengan ridho Allah dan
tetap optimis menjawab tantangan zaman yang semakin global. Nabi Muhammad SAW
pernah bersabda, “Mencari ilmu wajib hukumnya bagi orang muslim laki-laki
maupun perempuan.” Berdasarkan itu, kini saatnya para santri bangkit. Menjadi
agen perubahan, tidak hanya belajar ilmu agama. Tetapi juga ilmu umum. Karena
kata ilmu tidak diperinci. Bisa saja ilmu agama atau umum. Karena ilmu agama
dan umum sama-sama dating dari Allah SWT.
Nama santri harus selalu melekat seumur hidup bagi
penyandangnya. Indonesia sangat membutuhkan peran santri. Dalam sejarah negeri
ini, santri memiliki andil yang amat besar. Menjadi pahlawan yang gigih
memerangi para penjajah untuk merebut tanah air Indonesia. Wallahu’alam bishawab.
(Sofia Najmah/ Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Iqbal)*
baca juga :
> Zaman Zulkarnaen dan Penulisnya Yang Misterius