Globalisasi
merupakan proses menyatunya dunia sebagai akibat dari pesatnya perkembangan
teknologi. Semenjak teknologi gencar dikembangkan, proses globalisasi semakin
menguat di tengah kehidupan masyarakat. Adanya globalisasi membuat hubungan
manusia saling terbuka dan bergantung satu sama lain tanpa terikat dengan jarak
dan waktu. Di Indonesia, menilik hasil Wearesosial Hootsuite pengguna media
sosial mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi pada Januari
2019. Dari data tersebut menjadi dasar bahwa kehidupan manusia akan memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi di era globalisasi saat ini.
Keterbukaan
dan ketergantungan yang sekaligus terfasilitasi oleh teknologi menyebabkan
jarak seakan tidak jauh karena manusia dapat berkomunikasi dengan siapa pun di
dunia melalui gawai. Manusia seakan dipermudah dalam hubungan jarak jauh dengan
fasilitas teknologi yang membuatnya mampu berinteraksi dengan orang lain tanpa
harus bertatap muka secara langsung. Artinya adanya teknologi dapat
meningkatkan mobilitas komunikasi tanpa memandang jarak dan waktu, serta tanpa
harus bertemu secara langsung jika jarak tempuh belum memungkinkan untuk
dijangkau.
Namun,
di sisi lain kecanggihan teknologi membuat dunia maya seakan-akan menjadi tak
terkendalikan, sehingga membuat dunia nyata seakan tergeser fungsinya sebagai
tempat sosialisasi masyarakat. Pada kondisi ini, budaya baru yang bersifat
individualis meningkat dalam realitas karena segalanya telah dipindahtugaskan
melalui dunia maya. Bahkan perkembangan teknologi menyebabkan dunia mengalami
disrupsi besar serta membuat shock berbagai pihak konvensional. Salah satu
contohnya yaitu ranah perdagangan yang kian hari mulai ikut tergeser posisinya
dari pasar konvensional menjadi online shop, hal ini tentu berimplikasi pada
perekonomian dunia. Imbasnya – dunia di berbagai belahan, ketika memasuki abad
20 mengalami krisis moneter.
Degradasi Moral
Beberapa
tahun berlalu, manusia mulai bisa kembali menyesuaikan diri dengan adanya
globalisasi dan teknologi. Namun, dengan adanya perkembangan teknologi dan
globalisasi, beberapa kebudayaan mulai baur dan keramahan khas (khususnya di
Indonesia) kian tergerus. Dalam hal sikap, individualism terus meningkat karena
setiap orang tidak perlu banyak bersosial melalui cara konvensional dengan
adanya kemudahan-kemudahan yang tersedia.
baca juga : Sekolah Alam Berbasis Kelas
Salah
satu permasalahan umum yang telah menjadi rahasia publik adalah hilangnya
unggah-ungguh penghormatan dari anak muda ke orang yang lebih tua. Dalam tutur
bahasa, chatting (WA, IG, Facebook, dll) tidak dapat diidentifikasi berdasarkan
nada suara dan mimik muka sehingga hal ini lambat laun menghilangkan budaya
penghormatan ditinjau secara verbal. Di sisi lain, budaya malu pun lambat laun
mulai terkikis, hal ini terlihat dari budaya tik-tok yang kian marak
seakan-akan tidak adanya rasa malu jika hal itu terlihat orang masyarakat umum.
Adat
ketimuran dengan ciri khas masyarakatnya yang agamis dan santun mulai
terdegradasi oleh budaya liberal. Dalam hal ini, masyarakat lokal justru malu
berkecimpung dengan budayanya sendiri karena anggapan kuno mulai muncul dalam
pikiran. Adapun budaya liberal yang mengedepankan materialistik dan azas
kesenangan terus berkembang secara otomatis. Tentunya jika tidak dibendung maka
akan berakibat pada kebudayaan lokal yang kehilangan jati dirinya.
Filltering Perlu Ditingkatkan
Masuknya
kebudayaan asing sebagai pereduksi moral melalui jalan globalisasi dan
teknologi sebetulnya bukanlah masalah serius yang sulit dipecahkan. Pada
intinya hal yang patut ditanamkan pada masyarakat adalah filtering budaya
inputan dari asing. Hakikatnya, hadirnya globalisasi merupakan hal yang tidak
bisa dihindarkan atau bahkan menutup diri, justru hal itu membuat kita akan
semakin kudet atau tertinggal dengan perkembangan zaman. Namun, yang diperlukan
manusia adalah melakukan filterisasi terhadap budaya yang masuk.
baca juga : Senjakala Budaya dan Branding Nilai Kebudayaan
Sejatinya
budaya asing (khususnya budaya yang buruk) tidak akan menjangkiti negeri jika
masyarakat memilah mana yang tidak perlu dipraktikkan di masyarakat sendiri.
Sebagaimana, dalam kaidah Al-Muhafadzah bil aqdamil shalih wal akhdzu bil
jadidil ashlah (memelihara tradisi atau budaya nasional yang baik, serta
mengadopsi budaya baru yang tidak bertentangan dengan identitas nasional). Dari
dasar tersebut, sekiranya terdapat budaya asing yang bertolak belakang dengan
identitas nasional, maka hal itu perlu ditinggalkan seperti halnya budaya seks
bebas, pacaran, minuman keras, dan individual. Tentu mindset awal yang perlu
dibangun adalah bahwa budaya lokal bukan budaya kuno. Budaya lokal merupakan
warisan luhur bangsa yang harus ditunjung tinggi sebagai identitas masyarakat.
Keunikan budaya di Indonesia menjadi suatu hal yang tidak ditemui di berbagai
Negara lainnya.
Jika
masyarakat menerapkan prinsip tersebut dalam kehidupan, khususnya di era
globalisasi saat ini identitas bangsa Indonesia akan terus terjaga. Globalisasi
bukan menjadi hal yang menakutkan, namun bagaimana masyarakat bisa
mengaktualisasikannya dengan tetap menjaga warisan budaya nasional seperti
gotong royong, budaya malu, rukun, dan ramah tetap terjaga. Serta melakukan
adopsi budaya luar yang sekiranya dapat memabngun bangsa Indonesia lebih baik, seperti
kerja keras, disiplin dan kerja cerdas. Wallahu A’lamu Bi Al-Shawab.
(Diterbitkan di Kolom Opini Harian
duta Masyarakat 17 Maret 2020)